bebek

Cartoons Comments Pictures
SELAMAT DATANG

Saturday 1 February 2014

Makalah Tasawuf - AHWAAL


 
AHWAAL

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kulia tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. Murkilim M.Ag










Disusun Oleh:
IMAM TANTOWI
2113217432







  

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKULU
2013

 

 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakan efek dari peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa seorang hamba kapanpun ia mendekat pada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memanivestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui banwa ahwal merupakan koponen sagat penting bagi seseorang untuk ia mendekatkan diri kepada Allah, terutama bagi kaum sufi, yang mana sudah di katakan di atas bahwa ahwal ini merupakan  peningkatan maqamat seseorang. Yang mana maqamat adalah , hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Sedangakn ahwal adalah “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Dimana kedua hal ini sangat berhubungan erat. Jadi ahwal ini merupakan slah satu hal terpenting yang harus di miliki setiap manusia untuk ia mendekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu saya sebagi penulis akan menjelaskan mengenai bagian-bagian ahwal yaitu: Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja.
B.     Rumusan maslah
Berdasarkan LatarBelakang diatas maka penulis merumuskan maslah yaitu bagaimana konsep ahwal (Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja) dalam ilmu tasawuf
C.     Tujuan
Untuk mengetahui ahwal (Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja) dalam ilmu tasawuf.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari kata hal- adalah sikap rohaniah (mental) seorang sufi dalam perjalanan tasawufnya. (Ahmad Tafsir. 2009: 230)
Dalam pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal” . Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.Hal yang di maksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis yang di rasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. ((M.Solihin 2003: 15)
Sekalipun sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara “maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun kelangsungannya.  “Ahwal” sering di peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering di sebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka mengatakan bahwa “ahwal” di alami secara spontan dan berlangsung sebentar dan di peroleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada “maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi.
B.      Muraqabah
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru, setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Mawas (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang kehendaki-Nya. (M.Solihin 2003: 23)
Jadi Secara literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya. Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan al-Darani yang menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa yang ada di dalam hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah berikan kedalamnya. 
Menuru al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi atas tiga tingakatan. 
a.      Tingkatan Pertama
Adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karana Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin. 
b.      Tingkatan Kedua
Dalam muraqabah di tunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang senntiasa mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti nabi Muhammad SAW. Dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memilki kesadaran penuh bahwa sebaik pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak nsedikitpun terbesit adannya pengawasan yang lain , dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
c.       Tingkatan Ketiga
Dari ahli muraqabah adalah hal-al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti firman-Nya, (http://amrikhan.wordpress.com/2012/10/29/ahwal-dan-maqamat/)
Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”.  (QS. Al-A’raf:196).
C.     Qurbah
Qurbah Yaitu dekat dengan Allah SWT ,  Secara literal, qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi, qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab, “menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya.
Dalam pandangan al-sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatanya, dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri. Kedekatan allah kepada hambanya banyak disebut dalam firmanNya seperti:  
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS.Al-Baqarah:186)
Menurut Al-Sarraj Qurbah ada tiga tingkatan yaitu:
a.      Tingkatan pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekaat kepada Allah adalah orang-orang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena mereka memiliki pengetahuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan kekuasaan Allah kepada mereka.
b.       Tingkatan kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingakat pertama. Artinnya dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan dekat kepada Allah.
c.       Tingkatan ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir
 (hal al-Kubara wa ahl al-Nihayah). Kondisi qurbah mereka seperti yang dicewritakan oleh Husyan al-Nuri. Ia menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan yang lain. Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang sahabat. Dan kedekatan sepasang sahabat boleh jadi itu artinnya semakin jauhnya hamaba dari Allah.
D.    Mahabbah
Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada tuhan. Lebih luas lagi, bahwa “Mahabbah” memuat pengertian yaitu:
a.      Mememluk dan mematuhi perintah tuhan dan membenci sikap yang melawan pada tuhan
b.      Berserah diri kepada tuhan
c.       Mengosongkan perasaan di hati dari segala-segalanya kecuali dari Zat yang Dikasih. (H.A.Mustofa 1997: 240)
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.
Mahabbah ini, disebut Allah dalam beberapa ayatnyadiantaranya:
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (Qs. al-Baqarah:165)
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. al-Ali’Imran:31)
Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi mengatakan, “Sesungguhnya mahabbah (cinta) adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya; suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta kepadanya, dan melenyapkan sauatu dari wujudnya. Pertama-tama, ia harus menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggamanQudrah (Allah). (M.Solihin 2003: 23)
Kita mengetahui bahwa mahabbah (cinta) yang sesungguhnya hanyalah milik Allah, namun dapat kita lihat yang menyebabkan  orang-orang terperosok kedalam syirik, bentuk ini adalah karena mencintai tandingan tandingan Allah itu sama dengan cintanya kepadal Allah. Inilah yang banyak menimbulkan ke syirikan yang sebagian besar mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu telah mensyirikan Allah.
Tingkatan mahabbah yang paling tinggi adalah cinta penghambaan yang tidak menyisakan di hati stu cinta pun yang bertetangan dengan mahabbahtullah dan menjadikan setiap cinta mengikuti kepada mahabbahtullah, sementara Allah subhanahu wa Ta’alah tidak menerima cinta seorang kepada-Nya jika cintanya kurang dari tingkatan penghambaan. Dan ketika kita mencibtai Allah Azzah wa Jalla dengan mahabbah yang mengeluarkan dari hati setiap yang selain Allah. Maka ketika itulah kita benar-benar menjadi hamba Allah. Kita menjadi mukmin sejati, karna sifat mukmin sejati  itu cintanya amat sangat kepada Allah.( Nabhani idris. 2001: 35)
E.      Khauf  dan Raja (Cemas dan Harap)
Bagi kalangan kaum sufi, khauf dan raja berjalan seimbang  dan saling mempengaruhi.(Solihin, M. 2003.  hal 24). sikap mental rasa cemas  (khauf) dan Harap (raja), merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu di kaitkan kepadahasan Al-Bashri (wafat tahun 110 H). karena, secara historia memang dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagi ciri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang di maksud dengan cemas atau takud adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Karena sering menyadari kekurangsempurnaanya dalam mengabdi kepada Allah, timbul rasa takut, khawatir kalu-kalau Allah akan murka kepadanya. (M.Solihin. Anwar Rosihon. 2011: 116)
Abu Ali Al-Rudzbari  memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan hal yang mulia. (Haeri, Syekh Fadlallah 2003: 112)
Al-Ghazali membagi khauf kepada dua macam:
a)      Khauf karena kehilangan nikmat : akan mendorong seseorang selalu memelihara nikmat dan menempatkannya secara proporsional.
b)      khauf karena siksaan : akan mendorong seseorang untuk selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi apa yang di larangnya. (Ahmad Tafsir. 2009: 231)
Dari pendapat Al-Ghazali di atas dapat saya simpulkan bahwa dengan khauf di bagi menjadi dua antar Khauf karena kehilangan nikmat dan khauf karena siksaan. Ini akan mendorong setiap manusia akan selalu mensukuri akan nikmat yang Allah berikan, dan akan selau taat akan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangnya.
Al-Gazali pun memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.




BAB III
KESIMPULAN

A.     Kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ahwaal merupakan keadaan atau kondisi jiwa para sufi dalam mencapai pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai hamba-Nya. Yang mana Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut, mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam, Setelah para salik berhasil menempuh tingkatan maqam, mereka berada pada kondisi al hal (ahwal). Pada kondisi ini mereka akan dengan mudah mengalami hal-hal secara bertahap. Adapun hal-hal tersebut adalah diantaranya yang di bahas dlam makalah ini Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja. Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu.



Daftar Pustaka

Tafsir Ahmad, DR. 2009. Materi Pendidikan Agama Islam. PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Solihin, M. 2003. Tasawuf tematik. Cv pustaka setia: Bandung
Mostofa, A. 1997. Akhlak tasawuf. Cv pustaka setia: Bandung
Solihin, M. Rosihon, Anwar. 2011.ilmu tasawuf. Cv pustaka setia: bandung
Idris, Nabhani. 2001. Mahabbah ilahiyah. Pustaka Al-kautsar: Jakarta timur
Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf.  Yogyakarta: Pustaka Sufi.



No comments:

Post a Comment